Pemanasan Global, Tragedi Peradaban Modern
Pada tanggal 5
Juni 2007, negara-negara seluruh dunia umumnya memperingatnya sebagai Hari
Lingkungan Hidup. Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate
change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan
global (global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat
dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi
(gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu
perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu
biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering
dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan
dalam membuat kebijakan.
Perubahan iklim
akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah
meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak,
batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya
adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada,
Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup
masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk
negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga
berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu
industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi
negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti
Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan
baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada
rekor dunia ”Guinnes Record Of Book” sebagai negara tercepat yang rusak
hutannya.
Menurut temuan
Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel
internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah
lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005
terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi,
yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang
10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan.
Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin
panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin
maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta
meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di
negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu
sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan
dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur
bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
Meningkatnya
suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik
“lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam
berdarah, diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam
berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu
ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal.
Selain itu, ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya
permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita tengok
naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan Mei 2007 kemarin. Mulai dari
Pantai Kenjeran, Pantai Popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di
pulau-pulau di Indonesia.
Untuk
negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat dengan makin
tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Apalagi hal itu di tambah
dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet dan di kutub utara. Di
sinyalir oleh IPCC hal ini berkontribusi langsung meningkatkan permukaan air
laut setinggi 4-6 meter. Dan jika benar-benar meleleh semuanya maka akan
meningkatkan permukaan air laut setinggi 7 meter pada tahun 2012. Dan pada 30
tahun kedepan tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan
yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan sekarang
dengan musim hujan yang makin pendek sementara kemarau semakin panjang. Hingga
gagal panen selain soal hama, tetapi akibat kekuarangan air di tanaman para
ibu-bapak petani banyak yang gagal.
Lantas dengan
situasi sedemikian rupa apa yang dibutuhkan oleh dunia kecil “lokal” dan kita
sebagai individu penghuni planet bumi? Yang dibutuhkan adalah REVOLUSI GAYA
HIDUP, sebab dengan demikian akan mengurangi penggunaan energi baik listrik,
bahan bakar, air yang memang menjadi sumber utama makin berkurangnya sumber
kehidupan.
Selain itu
perlunya melahirkan konsesus yang membawa komitmen dari semua negara untuk
menegakkan keadilan iklim. Seperti yang sudah dilakukan oleh Australia yang
mempunyai instrumen keadilan iklim, melalui penegakan keadilan iklim dengan
membentuk pengadilan iklim. Dimana sebuah instrumen yang mengacu pada isi
Protokol Kyoto yang menekankan kewajiban pada negara-negara Utara untuk
membayar dari hasil pembuangan emisi karbon mereka untuk perbaikan mutu
lingkungan hidup bagi negara-negara Selatan.
Dalam praktek
yang lain saatnya kita mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang
tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya untuk kebutuhan memasak.
Menggunakan energi biogas (gas dari kotoran ternak) seperti yang dilakukan
komunitas merah putih di Kota Batu. Desentraliasasi energi memang harus
dilakukan agar menghantarkan kita pada kedaulatan energi dan melepas
ketergantungan pada sentralisasi energi yang pada akhirnya harganya pun makin
mahal saja.
Sedangkan untuk
para pengambil kebijakan harusnya mengeluarkan policy yang jelas orientasinya
untuk mengurangi pemanasan global. Misalnya menetapkan jeda tebang hutan di
seluruh Indonesia agar tidak mengalami kepunahan dan wilayah kita makin panas.
Menghentikan pertambangan mineral dan batubara seperti di Papua, Kalimantan,
Sulawesi, hal ini bisa dilakukan dengan bertahap mulai dari meninjau ulang
kontrak karyanya terlebih dahulu. Selanjutnya kebijakan progressive dengan
mempraktekkan secara nyata jeda tebang dan kedaulatan energi harus dilakukan
jika kita tidak mau menjadi kontributor utama pemanasan global.
Iklim memang
mengisi ruang hidup kita baik secara individu maupun sosial, maka tidak mungkin
menegakkan keadilan iklim tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak.
Bahwa tidak bisa dibantah, kita hidup dalam ekosistem dunia “perahu” yang sama,
sehingga jika ada bagian yang bocor dan tidak seimbang, sebenarya ini merupakan
ancaman bagi seluruh isi perahu dan penumpangnya. Maka merevolusi gaya hidup
kita untuk tidak makin konsumtif sangat mendasar dilakukan sekarang juga oleh
seluruh umat manusia. Sebab dengan begitu kita bisa menempatkan apa yang kita
butuhkan bisa ditunda tidak, yang harus kita beli membawa manfaat atau tidak
dan apakah yang kita beli bisa digantikan oleh barang yang lain yang ramah
lingkungan?
Ini semua
adalah cerminan bagi mereka yang berusaha dan sadar sepenuh hati demi
keberlanjutan kehidupan sosial (sustainable society) yang berkeadilan
secara sosial, budaya, ekologis dan ekonomi. Inilah tindakan nyata untuk meraih
kedaulatan energi dan melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil yang
sekarang telah dikuasai oleh korporasi modal. Sekarang siapapun bisa memilih,
mau jadi kontributor pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan
suhu yang makin panas? Atau mau menjadi bagian dari pelaku ”penyejukan global”
dengan mengubah pola konsumsi dan gaya hidup dari sekarang juga? Selamat Hari
Lingkungan Hidup Sedunia. Mari bertindak nyata untuk masa depan bersama.